MA YAN adalah buku yang
berkisah tentang gadis kecil di salah satu provinsi termiskin di Cina
yang berjuang dan berkorban demi mendapat pendidikan yang sedikit
layak.
Membaca Ma Yan, kita seperti diajak
untuk merenungi perjalanan hidup terutama yang berkaitan dengan
pendidikan. Betapa seorang gadis kecil harus menempuh perjalanan sejauh
20 km untuk mencapai sekolah setiap minggunya. Bekal bakpau sebanyak 6
buah adalah bekal makan malam sebanyak malam yang akan dihabiskannya
di asrama sekolah yang miskin. Itu pun harus dijaganya dengan rapi bila
tak ingin dirampok oleh para perampok di sepanjang perjalanan menuju
sekolah.
Satu ketika Ma Yan sangat menginginkan
sebuah pena seharga 2 yuan yang setara dengan uang sakunya selama 2
minggu. Uang saku itu bukan untuk jajan, tapi sebagai bekal membeli
sedikit sayur sebagai teman nasi putih untuk makan siang setiap harinya
selama di asrama. Uang itu pula yang seharusnya juga untuk transportasi
naik traktor apabila ia merasa capek berjalan sejauh 20 km. Tapi
karena keinginan yang kuat untuk memiliki pena tersebut, Ma Yan harus
rela menahan diri untuk bisa menikmati secuil sayur sebagai teman nasi.
Jadilah selama 3 minggu (ini karena
minggu ke-2 ibunya tidak mempunyai 1 yuan sebagai bekal) Ma Yan harus
makan nasi putih tanpa ada sayur apalagi lauk. Bahkan garam pun tak ada
untuk menghilangkan rasa tawar itu di mulutnya. Hingga satu titik, Ma
Yan benar-benar tak mampu menelan nasi putih tersebut bahkan bila
dipaksa, ia merasa mual ingin muntah. Praktis ia pun harus berpuasa 24
jam demi menjumpai bakpao sebagai menu makan malamnya setiap hari. Di
pagi hari, jatahnya hanyalah secangkir teh panas tanpa ada sesuatu
untuk dimakan.
Episode paling menyentuh adalah ketika
ibunya harus memilih antara Ma Yan dengan adik laki-lakinya untuk
meneruskan sekolah karena keterbatasan biaya. Ma Yan protes dalam
tulisan di balik bungkus tepung yang dibacakannya di depan ibunya karena
sang ibu sendiri buta huruf. ‘Ibu, aku tak mau berhenti sekolah.
Lakukan sesuatu agar aku bisa tetap sekolah sehingga nasib kita bisa
berubah.’ Sampai disinilah kemudian pembaca diajak untuk berderai-derai
meneteskan air mata menyelami perjuangan Ma Yan untuk membuktikan pada
orang tuanya bahwa ia memang layak untuk terus sekolah dengan
menunjukkan prestasi akademis.
Pena yang membuat Ma Yan begitu
terobsesi, akhirnya mengantarkan lembaran buku harian gadis kecil itu
ke tangan sebuah grup petualang dari Prancis yang sempat datang ke desa
terpencil tersebut. Ibu Ma Yan yang menyerahkan lembaran-lembaran
kertas itu dengan asumsi para bule itu mencari anak pintar di desanya.
Hal itu cukup membuat Ma Yan tergugu karena dengan hilangnya buku diary
tersebut, seakan hilang pula sebagian besar dari jiwanya, entah ke
mana. Tapi sang ibu meyakinkan bahwa naluri seorang ibu tak akan salah.
Dan benarlah, kisah itu akhirnya bisa dikonsumsi oleh banyak orang di
luar desa kecil tersebut untuk diambil intisari maknanya dan mengayakan
jiwa.
..Cerita Ma Yan menginspirasi kita semua agar lebih bersyukur terhadap kondisi yang ada dengan segala keterbatasan. Kondisi ini menunjukkan bobroknya sebuah sistem yang itu bukan berasal dari Islam…
Cerita di atas menginspirasi kita semua
agar lebih bersyukur terhadap kondisi yang ada dengan segala
keterbatasan. Tapi juga pada saat yang sama, kondisi ini menunjukkan
pada kita tentang bobroknya sebuah sistem yang itu bukan berasal dari
Islam. Padahal, menuntut ilmu dalam Islam itu adalah hak dan kewajiban
bagi muslim laki-laki dan perempuan. Pemerintah pun dengan sadar dan
bertanggung jawab memberikan pelayanan berupa sekolah gratis. Jadi tak
perlu ada lagi fenomena Ma Yan lain yang begitu girisnya mengalami
kepahitan hidup demi mendapat secuil ilmu pengetahuan. Dan ini semua
tak akan mungkin terwujud tanpa adanya sistem Islam yang diterapkan
secara keseluruhan. So, ayo kita perjuangkan kembalinya kehidupan Islam
agar tak ada lagi gadis sengsara seperti Ma Yan!
[riafariana/voa-islam.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar